Minggu, 18 Mei 2014 (sembari menikmati rinai hujan dan
gemuruh mesranya)
Well, sedikit ingin mengabadikan momen dan kebahagiaan hari ini. Masih dalam
tema Date on Fishing bersama JM o2 19 (eseeeh ^^)
Yah, berdasarkan temanya, cerita berikut ga jauh jauh dari
situasi memancing penuh gelak tawa, penuh kompetisi, penuh sorak sorai,
actually penuh lope lope lope <3
Oke, jadi tadi pagi, tepat jam 10.15 si doi ngesms gini:
“Mane bro? Mancing kita yok yank?”
Widih, anenya belungsukan kesenangan langsung ngebales:
“Rumah nih. Ayok, boleh2 yank :D Kapan? Udah
belanja perlengkapannya?”
Terus dibales:
“Abes2 zhuhur aje yank. Ntar kanda jemput jell. Di tempat biasa aja
kita”
Ane bales lagi (sambil joget2 ga karuan hahai):
“Okesip :D”
Jadilah akhirnya jam setengah 2 si doi nyampek dengan
aduhainya di depan rumah. “Ayok bro” sapanya seperti biasa sambil naikin alis.
Kalis banget loh. Yang begitu itu salah satu hal yang paling ane suka dari
beliau pas ngejemput. Ane salam (sungkem sih) si doi, eh dianya senyum (masih
seperti biasa), bikin ane kelimbungan kayak ikan mas koki mabuk pelet. Ane naik
ke atas motor dan bruuum kita berangkat.
Sesampainya di kafe biasa kita duduk –Abah Kuala nama
tempatnya, di pinggiran payau Cunda gitu- terus pesen minum dan langsung
meluncur ke tempat biasa duduk. Tanpa babibu terlalu banyak, langsung deh kita
pasang pancingannya (bukan kita, doi maksudnya :D ane sih ngeliat doang ngasih
semangat haha). Kali ini, rupanya si doi ngeset dua buah pancingan. Dianya
ngajak battle mancing sama ane. Jiah, guanya gemeteran tapi sok berani ngejawab
“Ayok siapa takut”. Kita langsung ngambil spot masing-masing terus ngelempar
pancingan masing-masing. Sedikit belum lama (maksudnya gimana yak? Jangan
tanyakan :D), pancingan ane getar-getar pertanda umpannya dimakan ikan. Ane
pasang ancang-ancang narik itu pancingan, eh ikannya duluan lepas. Oke, masih
banyak kesempatan lainnya. Tali pancing pun ane lempar lagi. Si doi masih kalem
aja di sudut sana. Terus agak gak lama setelah itu, pancingan ane getar2
lagi, bola pelampungnya udah timbul tenggelam, pasti ada ikan malang yang
sesaat lagi akan menemui ajalnya di kail pancingan ane. Eh oonya, ane geregetan
buat narik itu pancingan, akhirnya si doi lah yang turun tangan. Ternyata
setelah ditarik, ember cyiiint, di kailnya ane liat seekor ikan malang yang
sedang menggelepar2. Hati ane perih membayangkan si ikan pasti
sedang teriak2 “Tolong, tolong lepasin saya. Anak istri saya menanti
di sarang sana, hiks hiks hiks”. Ckck, sungguh miris Saudara-saudara. Dan andai kalian bisa melihat saat itu, ane
dengan kurang ajarnya (ckck) bersorak sorai Saudara-saudara, persis seperti
Indonesia lepas dari cengkeraman penjajah tahun ’45 tempo dulu. Di tengah gegap gempita haru bahagia (sumpah
lebay banget gue), eh si doi malah berkata: “Haha, kanda udah dapet satu ni
ikannya . Dinda mana?”. Bruuuk, semangat ane langsung jatuh, hancur berleburan.
“Jeeh, itu untuk dinda laaah, tadi kan yang lempar kesitu dinda, itu kan
pancingan dinda juga, ayank kan cuma narik doang. Yaaa? Yaa? Yaaa?” sahut ane
sambil akting ngambek-ngambek bombay gitu (huuek cih banget ini cewek). “Iya
laah, iya boleh juga” balas si doi tanpa ngeliat. Hahaha, mungkin dia udah duluan
tau ane bakal masang muka jelek (dalam asumsi ane sih imut2 gimana
gitu) sebagai jurus andalan.
Terus kita lanjut lagi deh kompetisi mancing
manianya :D Eh setelah prestasi “satu ikan”nya ane, eh ternyata si doi
ngebales. Lancar banget ikannya ketangkep sama kailnya si doi. Ane ciut,
langsung berdalih capek hahaha. Kita istirahat sebentar. Makan minum, sambil
cerita-cerita, ketawa-ketawa, atau ngebanyol ga penting.
Berbicara tentang memancing, ane menemukan beberapa hal yang
bisa diangkat jadi satu filosofi.
Yang pertama, ane berpikir bahwa ikan2 yang
kita pancing itu sebenarnya ikan-ikan malang. Malangnya begini, di saat mereka
kelaparan dan niatnya mencari makan, kita malah menawarkan umpan kepada mereka,
yang padahal umpan itu bakal merenggut kehidupan si ikan itu. Ane juga terus
berpikir, gimana kalo sistem mancing ini diimplementasikan ke manusia. Si
manusia yang kelaparan itu dikasiin makanan terus dibacok dari belakang. Kejam
memang, tapi yah begitulah hidup. Manusia hanya menjalankan kodrat sebagai
‘pemburu’ dan ikan itu cuma menjalani ‘takdir kematiannya’.
Yang kedua, ane terpikir dengan sistematika memancing itu
sendiri. Kail pancing yang udah kita kasiin umpan, terus kita lempar ke air
dengan harapan bakal ada ikan yang terpancing. Terus saat umpan itu udah
dimakan ikan, masih ada tiga kemungkinan yaitu pertama umpan abis kita dapat
ikan, yang kedua umpan masih ada tapi ikannya gagal didapat, atau yang ketiga
umpan abis dan ikan pun ga dapat. Dari situ ane jadi berpikir. Sebenarnya hidup
juga sama kayak mancing. Kita asumsikan umpan dan kail itu usaha dan
pengorbanan kita, dan ikan adalah hasil yang ingin kita capai, sedangkan
“memancing” itu adalah teknik atau cara kita meraih hasil yang kita inginkan.
Kemungkinan pertama, usaha dan pengorbanan kita udah oke, terus cara-cara kita
untuk meraih hasil juga udah oke, maka kita pun berhasil meraih yang kita
inginkan. Kemungkinan kedua, usaha dan pengorbanan kita udah oke nih, tapi
cara-cara kita untuk meraih hasil itu masih salah. Bisa jadi, cara-cara yang
salah itu bisa berupa kita ga jeli dalam memanfaatkan kesempatan, atau kita
ragu-ragu dalam bertindak, atau bisa juga karena kitanya kurang menyerahkan dan
tawakal kepada Tuhan. Ya apapun itu, kemungkinan kedua ini berakhir dengan
ketidak berhasilan kita meraih hal tersebut tapi dengan kondisi belum
benar-benar menguras segala yang kita pertaruhkan untuk hal tersebut,
sederhananya usaha dan pengorbanan kita belum membuat kita terlampau rugi dalam
segi apapun. Toh dalam kondisi seperti itu, kita masih memiliki kesempatan
untuk memperbaiki dan berusaha kembali. Nah, kemungkinan yang ketiga inilah
yang paling miris. Ibarat kata, semua udah kita lakuin sebagai wujud usaha dan
pengorbanan kita untuk meraih hasil sesuai yang diinginkan, tapi gara-gara satu
atau beberapa kesalahan dalam cara kita meraih hasil tersebut, kita kehilangan
semua. Usaha dan pengorabanan pun sia-sia, ditambah kita gagal dalam meraih hal
tersebut. Dan akhirnya ane mikir, untuk yang ketiga ini, dalam kasus manusia,
seorang manusia yang ketimpa kemungkinan ketiga ini cuma bisa bertahan jika dan
hanya jika dia berserah diri dan yakin bahwa hal tersebut sudah menjadi garis
yang direncanakan Tuhan atas hidupnya.
Begitulah kira-kira hal yang bisa ane tarik dari memancing.
Dan kesadaran ane itu tidak terlepas dari omongan-omongan bersama si doi. Seorang
pria yang mampu membuka jendela pikiran dan menggeser kotak-kotak yang ada di
dalam mind set ane, bahwa semua hal dapat berarti sesuatu bila kita mau
‘melihat lebih dekat’. Doi adalah satu-satunya pria yang bisa mengajak ane
masuk dan merasakan bahwa ‘hidup’ adalah seperti ‘hidup yang seharusnya’.
Jam di tangan si doi sudah menunjukkan pukul 16.49, si doi
ngajak udahan mancingnya. Terus kita beresin semua kehancuran (hahaha) yang
udah kita timpakan ke kafe itu. Alat-alat pancing udah aman di tempat yang
seharusnya itu berada, ikan-ikan hasil tangkapan sudah kita lepasin kembali
dengan hormat (sayounara~ duhai ikan, kau berasal dari air dan mati pun kami
kembalikan ke air pula hiks :’( *nangis bombay*), dan bau amis di tangan sudah
sedikit ternetralisir sehabis cuci tangan.
Setelah bayar terus kita cabut dari
tempat penuh kenangan itu. Motor pun
meluncur, kita ambil arah kiri dari kafe itu buat rute jalan-jalan. Ritual sehabis mancing ya pastinya
jalan-jalan nyari angin segar. Langit di
atas mendung pekat dan menandakan beberapa saat ke depan bakal hujan deras.
Tapi entah karena rindu, entah karena apa, kita gak berniat memutar arah cari
aman dan pulang. Di persimpangan empat Keude Punteut (nama suatu daerah), kita
belok ke arah kiri hingga akhirnya tembus ke rute jalan line. Akhirnya
sesampainya di persimpangan Sp.Kramat – Kandang, hujan mulai turun
rintik-rintik. Kita mengambil rute ke Kandang, dan terus aja jalan tanpa peduli
hujan yang jatuh. Eh, lewat kawasan SMA 4, hujan turun membabi buta. Deras sekali.
Karena tak tahan dengan hujan yang jatuh layaknya bongkahan es balok, kita
menepi di sebuah kedai. Basah kuyup. Kedinginan tentu. Gigi gemerutukan. Kita
saling pandang dan akhirnya tertawa bersamaan. “Inilah akibat ‘termotivasi’”
gelaknya padaku. “Hahaha, ini kelewatan ‘termotivasi’, Nda”sahutku tergelak
juga. Kulemparkan senyum kepadanya. Kita bertatapan dalam senyum. Satu hal yang
kusadari dari tatapannya, kita berdua bahagia sebab akhirnya dapat lagi
menikmati guyuran hujan bersama setelah sekian lama. Entah kenapa, hujan berarti ‘sesuatu yang
indah’. Mungkin karena seiring turunnya, kenangan-kenangan manis yang pernah
kita lalui bersama pun turut ada di dalamnya.
Hujan pun sedikit mereda. Dan kita beranjak pulang. Meski
dingin menusuk hingga ke tulang, tapi hatiku hangat dan mengembang.
Kulantunkan
doa-doa menembus lapisan hujan: Semoga pria yang saat ini di depanku, adalah
seseorang yang kepadanya diserahkan
kebahagiaanku dan pengabdianku kelak.
With so much love,
Dinda
Minggu, 18 Mei 2014,
21:16